Misteri Dibalik Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret
Misteri Dibalik Supersemar
atau Surat Perintah Sebelas Maret
Keraguan akan keaslian naskah Supersemar
yang disimpan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) muncul setelah
tumbangnya Orde Baru (Orba) pada 1998. Keraguan publik soal otentisitas surat
perintah dari Presiden Soekarno ke Menteri Panglima Angkatan Darat, Letjen
Soeharto, dikala itu semakin diperkuat oleh beberapa saksi sejarah bekas
tahanan politik Orba yang akhirnya buka suara.
Tiga Versi Supersemar, Misteri Lebih
Dari Empat Puluh Tahun
Lebih
dari empat puluh tahun berlalu, misteri Surat Perintah 11 Maret 1966
(Supersemar) hingga kini belum juga terpecahkan. Di mana naskah asli surat
tersebut juga masih belum bisa ditemukan.
Sejumlah versi proses terbitnya Supersemar pun
beredar. Entah siapa yang benar. Namun dari sejumlah keterangan, yang tidak
bisa dibantah adalah Supersemar
yang disimpan di ANRI adalah palsu.
Supersemar
yang disimpan di etalase arsip negara itu kini ada tiga versi versi:
Versi Pertama, yakni surat yang berasal dari Sekretariat Negara.
Surat itu terdiri dari dua lembar, berkop Burung Garuda, diketik rapi dan di
bawahnya tertera tanda tangan beserta nama Sukarno.
Versi Kedua, berasal dari Pusat Penerangan TNI AD. Surat ini
terdiri dari satu lembar dan juga berkop Burung Garuda. Ketikan surat versi
kedua ini tampak tidak serapi pertama, bahkan terkesan amatiran. Jika versi
pertama tertulis nama Sukarno, versi kedua tertulis nama Soekarno.
Versi Ketiga, lebih aneh lagi. Surat yang terakhir diterima ANRI
itu terdiri dari satu lembar, tidak berkop dan hanya berupa salinan. Tanda
tangan Soekarno di versi ketiga ini juga tampak berbeda dari versi pertama dan
kedua.
Kepala ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia), M Asichin, memastikan ketiga surat itu adalah
Supersemar palsu. “Sebab, lazimnya surat kepresidenan, seharusnya kop surat
Supersemar berlambang bintang, padi dan kapas. Bukannya Burung Garuda. Apalagi
yang polosan seperti yang terakhir,” kata Asichin di Jakarta, Sabtu
(10/3/2012).
Dari
segi isi, kata Asichin, beberapa versi Supersemar tersebut relatif sama. Hanya
ada perbedaan dari versi pertama dan kedua. Surat pertama terdiri dari empat
poin yakni:
I.
Mengingat,
II.
Menimbang,
III.
Memutuskan/Memerintahkan dan
IV.
Selesai.
“Bedanya, di versi kedua tidak ada IV. Selesai,” ujar Asichin.
Benedict Anderson, pakar sejarah Indonesia asal
Amerika Serikat, pernah mengatakan Supersemar asli sengaja dihilangkan. Hal itu didapatkan Anderson dari pengakuan seorang
tentara yang bertugas di Istana Bogor, tempat Supersemar dibuat.
Tanpa menyebut nama dan pangkat tentara tersebut,
Anderson mengatakan,Supersemar
asli berkop surat Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Bukan kop surat dengan lambang Burung Garuda seperti
yang ada sekarang.
Jendral M. Yusuf (Andi Muhammad Jusuf Amir) adalah salah satu tokoh militer Indonesia yang
sangat berpengaruh dalam sejarah kemiliteran Indonesia. Dalam posisi
pemerintahan ia pernah menjabat sebagai Panglima ABRI merangkap Menteri
Pertahanan dan Keamanan pada periode 1978 – 1983. Selain itu ia juga pernah
menjabat sebagai Menteri Perindustrian pada periode 1964 – 1974 dan juga Ketua
Badan Pemeriksa Keuangan periode 1983 – 1993. (wikipedia)
Jelas
keterangan ini menyudutkan Soeharto, yang saat itu menjabat Panglima Angkatan Darat.
Sebab, dengan Supersemar berkop surat MBAD menunjukkan surat perintah itu
memang diinginkan oleh Soeharto.
Apalagi,
muncul versi Soekarno dipaksa oleh beberapa jenderal utusan Soeharto untuk
meneken Supersemar di bawah todongan senjata.
Jenderal
M Jusuf, salah satu petinggi AD yang menemui Soekarno di Istana Bogor, pernah
mengklaim memiliki naskah Supersemar.
ANRI
pernah berkali-kali meminta keterangan kepada Menteri Perindustrian Kabinet
Dwikora itu. Namun, hingga akhir hayat M Jusuf pada 8 September 2004, upaya itu
gagal.
Pada
31 Agustus 2005, ANRI pernah memawancarai keponakan M Jusuf, Andi Heri di
Makassar. “Namun pengakuan keluarga katanya kami tidak pernah menyimpan”, ujar
Asichin.
Pada
2008, pengakuan lain dibuat oleh Ubaydillah Thalib, putra Salim Thalib, staf
intel Komando Operasi Tertinggi Gabungan-5 (G-5 KOTI). Thalib mengatakan
ayahnya, yang meninggal 2002 lalu, pernah bercerita kepadanya bahwa Supersemar
yang ada selama ini adalah palsu.
“Teks
itu tidak tersusun rapi seperti yang sekarang beredar, tapi memang diketik,”
ujar Ubay saat itu. Menurut Ubay, ayahnya sempat melihat sekilas teks tersebut
saat diperintahkan oleh Letkol Sudharmono untuk menyimpan di ruangannya. “Tapi
sayangnya yang melihat teks Supersemar itu hanya beberapa orang,” kata Ubay.
Cek Kosong Untuk Soeharto
Soekarno
memberi surat lanjutan bahwa Supersemar bersifat teknis/administratif semata,
bukan politis. Kontroversi Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) tidak
hanya seputar keberadaan (fisik) surat itu, namun juga soal isinya.
Tiga
versi Supersemar yang disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)
secara isi memang sama, yakni perintah untuk mengamankan negara. Namun,
bagaimana tafsir atas isi surat tersebut?
Seperti
diketahui, Supersemar telah dijadikan alat pembenaran bagi Soeharto, si
penerima, untuk memberangus Partai Komunis Indonesia (PKI), menangkap 15
menteri yang dianggap beraliran kiri dan loyal terhadap Presiden Soekarno serta
mengawasi pemberitaan di media massa saat itu.
Melihat
langkah Soeharto itu, Soekarno segera mengeluarkan surat lanjutan dua hari
berikutnya atau 13 Maret 1966 (Wisnu: 2010). Surat yang berisi tiga poin
penting ini dibawa oleh Wakil Perdana Menteri II, Dr J Leimena, dan diserahkan
kepada Soeharto.
Surat
itu pada intinya mengingatkan Soeharto bahwa:
Pertama, Supersemar bersifat teknis/administratif semata,
bukan politis. Surat semata-mata berisi perintah untuk mengamankan rakyat,
pemerintah dan presiden.
Kedua,
surat juga mengingatkan pembubaran partai politik harus atas seizin presiden.
Ketiga,
Soeharto diminta datang menghadap presiden untuk memberikan laporan.
Surat
yang tidak banyak diketahui publik ini akhirya tak digubris Soeharto. Semua
tahu bahwa setahun setelah penyerahan Supersemar atau 12 Maret 1967, Soeharto
diangkat sebagai Presiden menggantikan Soekarno tanpa proses pemilu.
Sejarawan Asvi Warman Adam (2009) menilai Supersemar
seperti blanko
cek kosongyang bisa diisi semaunya oleh Soeharto.
Hal ini terlihat dalam frasa “mengambil tindakan yang dianggap perlu” dalam poin perintah pertama surat itu.
Supersemar, kata Asvi, akhirnya ditafsirkan bukan
hanya sebagai perintah pengamanan, namun juga pemindahan kekuasaan (transfer of authority). Brigjen Amir Machmud, salah satu orang dekat
Soeharto, setelah melihat surat itu menilai surat itu bernada penyerahan
kekuasaan.
Menurut
Asvi, seharusnya surat kepada militer jelas batas dan jangka waktu
pelaksanaannya. Poin ketiga surat lanjutan Soekarno pada 13 Maret 1966
menunjukkan sang presiden telat menyadari ketidakjelasan jangka waktu
pelaksanaan Supersemar.
Namun keterangan Wakil Perdana Menteri I, Soebandrio,
setelah lepas dari tahanan Orde Baru, menunjukkan Sang Pemimpin Besar Revolusi
tak seceroboh itu. Menurutnya, Supersemar terdapat frasa “setelah keadaaan terkendali, Supersemar
diserahkan kembali kepada Presiden Soekarno.”
Keterangan Soebandrio itu dibenarkan oleh Pangkostrad Letjen Kemal Idris.
Kontroversi isi Supersemar ini akhirnya membuat
persepsi bahwa Supersemar palsu sengaja dibuat mengarahkan ke transfer of authority. Sementara yang asli jelas merupakan perintah
mengamankan negara atau delegation
of authority. Ini pula yang diamini Roeslan Abdul
Gani, salah satu menteri Soekarno saat itu.
Soeharto dilantik menjadi presiden setelah mengeluarkan Supersemar ke
presiden Sukarno
Siapa yang mengetik Supersemar?
Kontroversi
keberadaan (fisik) dan isi Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) juga
diikuti dengan misteri siapa yang mengetik surat sakti itu. Namun, dari sekian
lama kontroversi bergulir, baru satu orang yang mengaku mengetik surat itu. Dia
adalah Letkol (Purn) Ali Ebram.
Saat
Supersemar terbit, Ebram adalah Asisten I Intelijen Resimen Cakrabirawa. Dia
mengaku mengetik Supersemar dengan didiktekan Presiden Soekarno. Ebram, yang
tidak terbiasa mengetik, mengaku gemetar saat menekan tombol-tombol mesin cetak
itu.
Dalam ‘Kudeta
Supersemar’ (Wisnu: 2010) diceritakan, Ebram mengaku
dipanggil oleh bosnya Komandan Resimen Cakrabirawa, Brigjen Sabur, untuk
membawa mesin tik dan kertas berkop kepresidenan ke paviliun Hartini, ruang
pribadi presiden di Istana Bogor. Ebram mengetik surat itu selama satu jam.
Menurut
pengakuannya, di ruang lain, tiga petinggi Angkatan Darat yakni Brigjen M
Jusuf, Brigjen Amirmachmud dan Brigjen Basuki Rahmat, sudah menunggu.
Keterangan Ebram klop dengan pengakuan Amirmachmud bahwa saat menunggu, ia
melihat presiden masuk ke kamar dalam waktu yang cukup lama.
Namun,
Komandan Detasemen Kawal Pribadi Presiden, Mangil Martowidjojo, mengatakan
lain. Mangil mengatakan, sang pengetik adalah Sabur sendiri. Dengan membawa
kertas dan mesin tik, kata Mangil, Sabur mengatakan sedang membuat surat
perintah. Sabur, kata dia, mengetik hasil koreksi Supersemar setalah Soekarno
mendiskusikan versi awal kepada tiga jenderal itu bersama dua wakil perdana
menteri, Soebandrio dan Chaerul Saleh.
Sementara
itu, Soebandrio, yang mengaku turut mengoreksi, mengaku tidak tahu siapa yang
mengetik Supersemar. Dia hanya mengetahui Supersemar diketik oleh salah satu
staf di Istana Bogor.
Sedangkan
Benedict Anderson, pakar sejarah Indonesia asal Amerika Serikat, mengatakan
lain. Dari pengakuan seorang tentara di Istana Bogor, Anderson mengatakan,
Supersemar asli berkop surat Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Keterangan ini
secara tidak langsung membantah Ebram sebagai pengetik Supersemar karena ia
mengaku mengetik surat itu di atas surat berkop kepresidenan.
Namun
sayang, Anderson tidak mau mengungkapkan siapa tentara pemberi informasi
tersebut, berikut pangkatnya.
Pistol di Dada Soekarno
Dada
Soekarno malam itu mungkin tak sebusung waktu ia mengatakan “ini dadaku mana
dadamu” kepada Malaysia. Dini hari, 11 Maret 1966 di Istana Bogor, pistol FN-46
itu ditodongkan Brigjen Basuki Rachmat ke dada sang presiden. Soekarno dipaksa
untuk meneken sebuah surat di dalam map merah jambu.
Dalam
“Mereka Menodong Soekarno” Letnan Satu (lettu) Sukardjo Wilardjito, pengawal
presiden yang berjaga malam itu, mengaku langsung mencabut pistolnya. Namun,
Soekarno menyuruh pengawalnya itu untuk memasukkan kembali ke sarungnya.
Saat membaca isi naskah di map merah itu, kata dia,
Soekarno sempat bertanya “Lho, diktumnya kok diktum militer, bukan diktum
kepresidenan!” Secara refleks, kata Sukardjo, ia melihat naskah tersebut.
Kop
surat, kata dia, tidak ada lambang kepresidenan. Dia justru melihat kop Markas
Besar Angkatan Darat (MBAD) di sisi kiri atas surat tersebut.
“Untuk
mengubah waktunya sudah sangat sempit. Tandatangani sajalah, Paduka.
Bismillah,” kata Basuki Rachmat, yang ditemani Brigjen Amirmachmud, Brigjen M
Jusuf dan M Panggabean.
Surat
yang kemudian dikenal dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) itu
akhirnya diteken (ditandatangani) oleh Soekarno. Keempat jenderal utusan
Soeharto itu lantas membawa surat dengan sumringah. Setelah kejadian itu,
Soekarno langsung mewanti-wanti Sukardjo.
“Kamu
harus keluar dari istana, dan kamu harus hati-hati,” ujar Sukardjo menirukan
pesan Soekarno saat itu.
Dan benar saja, tak
lama setelah kejadian itu, Sukardjo dilucuti oleh pasukan Kostrad dan RPKAD
untuk kemudian ditahan. Dia dipenjara oleh Orde Baru tanpa peradilan selama 14
tahun. Selama ditahan, ia menerima penyiksaan, seperti disetrum puluhan kali
dan dipaksa mengaku PKI.
Meski
banyak yang membantah cerita tersebut, setidaknya itulah kesaksian dari
Sukardjo, pengawal presiden, yang kedatangan tamu empat jenderal pada pukul
01.00 WIB.
Jendral Maraden Panggabean adalah salah seorang tokoh militer Indonesia yang pernah menjadi Menteri
Pertahanan dan Keamanan dalam Kabinet Pembangunan II serta Menteri Koordinator
Politik dan Keamanan dalam Kabinet Pembangunan III. Selanjutnya pada tahun
1983-1988, Maraden menjabat Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA). (wikipedia)
Selain
soal pistol, kesaksian yang paling diragukan adalah kehadiran Brigjen M
Panggabean.
Dari
beberapa versi cerita, cuma Sukardjo yang mengatakan kehadiran Panggabean di
Istana Bogor.
Jadi
bukan 3 orang Jenderal, namun 4 orang Jenderal. Namun, tak sedikit juga yang
memperkuat kesaksian Sukardjo.
Mereka
yang memperkuat kesaksian Sukardjo adalah R Seoekiram, S Ponirah, Soeprapto
Karto Siswoyo dan Rian Ismali. Keempatnya merupakan purnawirawan CPM dan TNI
AD.
Akibat
pengakuannya yang menghebohkan usai reformasi pecah pada 1998 itu, Sukardjo
sempat menghadapi proses hukum atas tuduhan menyebarkan berita bohong.
Namun,
ia berhasil lolos dari jeratan hukum karena tuduhan itu tidak terbukti.
Kesaksian Sukardjo Wilardjito
Pintu
kamar Bung Karno diketuk pengawal. Ada perwira Angkatan Darat yang ingin
bertemu presiden. Mereka diutus oleh Suharto. Ada map merah muda di tangan
salah seorang jendral. Di dalamnya berisi naskah yang mesti ditandatangani
Sukarno.
Naskah
itu tidak segera ditandatangani Sukarno. Dia sempat bertanya tentang mengapa
kop surat itu dari Markas Besar Angkatan Darat. Seharusnya Surat Perintah itu
ber-kop surat kepresidenan.
Tapi
pertanyaan Sukarno hanya dijawab Jendral Basuki Rachmat, “Untuk membahas, waktunya
sangat sempit. Paduka tandatangani saja”. Kesaksian ini dituturkan Sukardjo
Wilardjito, mantan pengawal Presiden Sukarno.
Sesudah
jatuhnya Sukarno, Sukardjo pernah dipenjara oleh rezim Orba selama 14 tahun
tanpa proses pengadilan, termasuk menjalani beragam penyiksaan, disetrum
puluhan kali dan dipaksa mengaku PKI.
Sukardjo
ini pernah mengejutkan orang dengan kesaksiannya yang bersikukuh menyatakan
Basuki Rachmat dan Panggabean menodongkan pistol ke muka Sukarno karena ia
bimbang untuk menandatangani.
Melihat
itu, Sukardjo sebagai pengawal presiden secara refleks mencabut pistol untuk
melindungi presiden. Namun Sukardjo meletakkan pistolnya kembali, karena
Sukarno tidak ingin melihat pertumpahan darah.
Surat yang akhirnya ditandatangani Sukarno itu dikenal
kemudian dengan nama Supersemar. Surat Perintah Sebelas Maret. Sukardjo juga bersaksi
bahwa yang menghadap Sukarno adalah empat jendral dan bukan tiga jendral
seperti yang disebutkan selama ini.
Keempat
jendral utusan Suharto itu adalah:
4.
Basuki Rachmat.
Biarpun
ada yang masih meragukan kesaksian Sukardjo itu, tapi dia tetap berpegang pada
kesaksiannya itu. Kemudian malah menulis kesaksiannya di bukunya berjudul
“Mereka Menodong Bung Karno”.
Kesaksian
Sukardjo bahwa Sukarno ditodong, pernah dibantah M. Yusuf dan Panggabean
sendiri. Kesaksian itu juga dibantah oleh A.M. Hanafi mantan Dubes RI di Kuba,
dalam bukunya “Hanafi Menggugat”. Sehingga kebenaran kesaksian Sukardjo itu
masih perlu ditelusuri lagi. Benarkah demikian?
Ditodong atau tidak, rasanya Sukarno bukan orang yang
mudah digertak. Bagaimanapun, apapun alasan Sukarno menandatangani naskah
Supersemar, pada dasarnya kesaksian Sukardjo itu menggambarkan situasi yang
tidak kompromistik.
Situasi
yang membuat Sukarno terjepit. Tak ada waktu bernegosiasi. Pokoknya teken
sekarang!
Ada bau konspirasi di balik itu. Dan hasilnya adalah
lahirnya Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar. Bung Karno menyebutnya dengan
istilah SP
Sebelas Maret.
Sesudah
menandatangani surat itu, Bung Karno masih sempat mengatakan, bahwa surat itu
mesti dikoreksi kalau keadaan sudah pulih. Permintaan itu tidak pernah
terwujud, karena ketika menandatangani surat itu, tanpa disadari Sukarno sedang
menandatangani kejatuhannya.
Sesudah
penandatanganan Supersemar, boleh dikatakan “wahyu sebagai pemimpin” seakan
sudah tercabut dari Sukarno. Sebagai presiden, Sukarno sudah menandatangani
ribuan surat.
Tapi
tandatangannya di surat yang satu ini, Supersemar, menjadi pedang yang menghunus
kekuasaannya sendiri. Kita tahu, Supersemar adalah surat mandat Sukarno pada
Suharto untuk mengamankan negara yang kacau akibat G30S PKI.
Belakangan
mandat Supersemar ini ternyata dijadikan legitimasi untuk mengambil alih
kekuasaan yang menyingkirkan Sukarno. Dengan Supersemar itu Suharto memperoleh
surat sakti, kemudian bergerak cepat meraih kursi presiden.
Jendral Amir Machmud adalah seorang Jenderal Militer Indonesia yang merupakan saksi mata
penandatanganan Supersemar, sebuah dokumen serah terima kekuasaan dari Presiden
Sukarno kepada Jenderal Suharto (wikipedia)
Bung
Karno yang sadar bahwa Supersemar ternyata dimanipulasi, dalam pidatonya
berteriak “Jangan jegal perintah saya! Jangan saya dikentuti!”.
Ini
ekspresi kemarahan Sukarno kepada orang-orang yang dianggapnya telah menipunya,
melangkahinya dan membangkang perintahnya.
Menjelang
kejatuhannya, Bung Karno mulai agak kehilangan kontrol diri. Itu tampak dari
pidato-pidatonya yang emosional. Tampaknya Bung Karno mulai frustrasi. Dia
sudah mulai merasa ditinggalkan dan dikhianati oleh orang-orang sekitarnya.
Salah
satunya yang bikin Sukarno merasa dikentuti, seperti katanya, adalah Supersemar
tadi. Bagaimana tidak? Bung Karno merasa Supersemar diplintir!
Padahal
Supersemar dimaksudkan Sukarno untuk memberi mandat pada Suharto agar segera memulihkan
keamanan negara, bukan melengserkannya.
Kecurigaan
presiden Sukarno bahwa ada persekongkolan yang berniat memanipulasi Supersemar,
tercermin dari pidatonya. Ketika itu Bung Karno mulai melihat tanda-tanda
Supersemar yang disebutnya SP 11 Maret itu mulai “dimainkan” oleh Suharto.
Karena itu Bung Karno menekankan berkali-kali, dirinya tidak bermaksud
mengalihkan kekuasaannya pada Suharto.
Kata
Bung Karno:
“Dikiranya
SP Sebelas Maret adalah surat penyerahan pemerintahan. Dikiranya SP Sebelas
Maret itu, suatu transfer of sovereignty. Transfer of authority.
Padahal TIDAK! SP Sebelas Maret adalah suatu perintah. SP Sebelas Maret adalah
suatu perintah pengamanan. Perintah pengamanan jalannya pemerintahan.
Pengamanan jalannya ini pemerintahan. Seperti kukatakan dalam pelantikan
kabinet. Kecuali itu juga perintah pengamanan keselamatan pribadi Presiden.
Perintah pengamanan wibawa Presiden. Perintah pengamanan ajaran Presiden.
Perintah PENGAMANAN beberapa hal”. (lihat video: Soekarno
Pidato Tentang SUPERSEMAR)
Berdasarkan
pidato Sukarno di atas, timbul kecurigaan orang. Mungkinkah Supersemar
“sengaja” dinyatakan hilang? Betulkah naiknya Suharto sebagai presiden adalah
inskonstitusional karena bertentangan dengan amanat Supersemar? Dan karenanya
Supersemar mesti lenyap secara misterius? Apakah bisa dipercaya begitu saja
bahwa dokumen negara sepenting itu bisa hilang?
Jenderal Basuki Rahmat adalah Jenderal Tentara Nasional Indonesia dan menjadi saksi
penandatanganan Supersemar dokumen serah terima kekuasaan dari Presiden
Soekarno kepada Jenderal Soeharto (wikipedia)
Kita
bisa bandingkan naskah Supersemar yang hanya beberapa puluh tahun, dengan
naskah-naskah kuno dari jaman kerajaan-kerajaan Nusantara yang berusian ratusan
tahun tapi masih tersimpan rapi di musium-musium.
Dua
naskah Supersemar di Arsip Nasional disebutkan hanya fotocopy. Yang janggal,
dua naskah itu tidak mirip karena diketik dengan spasi berbeda.
Pertanyaannya,
yang manakah di antara kedua naskah itu yang otentik? Atau apakah malah
keduanya sama-sama tidak otentik?
Menurut
kesaksian staf intel Komando Operasi Tertinggi Gabungan-5 (G-5 KOTI) Salim
Thalib, naskah Supersemar yang dikenal sekarang adalah palsu. Selain aslinya
tidak serapi itu, isi naskah juga tidak sama dengan naskah aslinya.
Jadi
betulkah tuduhan beberapa kalangan yang menyamakan ini dengan usaha
penghilangan barang bukti?
Kalau
memang Supersemar tidak diplintir, apa buktinya bahwa Supersemar itu tidak
diplintir? Sebetulnya kenapa Supersemar itu mesti dirancang dan Sukarno mesti
dipaksa menandatangani? Ada banyak teori konspirasi rumit tentang ini. Tapi
saya tertarik dengan teori berikut ini.
1. Persaingan PKI dan Angkatan Darat
Latar
belakangnya tak lepas dari persaingan antara PKI dan Angkatan Darat. Sebelum
terjadinya G30S, persaingan antara PKI dan Angkatan Darat sudah dalam taraf
saling jegal menjegal. Bahkan PKI sampai ingin membangun “Angkatan Kelima”
dalam militer.
PKI
ingin menggeser Angkatan Darat. Dan Angkatan Darat ingin menggeser PKI. Apalagi
ketika itu Sukarno sudah mulai sakit-sakitan. Mungkin usianya tidak lama lagi.
Pokoknya siapa cepat, dia dapat. Antara PKI dan Angkatan Darat sudah
betul-betul sikut-sikutan.
Begitu
meletus konspirasi G-30S, inilah kesempatan Angkatan Darat untuk menghancurkan
saingan beratnya itu. Tak ada ampun, pokoknya PKI harus musnah. Dan
penghancuran itu akan lebih afdol jika presiden sendiri yang mengumumkan
pembubaran PKI.
Soalnya
yang punya hak untuk membubarkan partai politik cuma presiden. Itu adalah hak
prerogatif presiden. Tapi tunggu punya tunggu, Sukarno kok belum mau juga
membubarkan PKI. Bagaimana ini?
Dipa Nusantara Aidit yang lebih dikenal dengan D.N. Aidit (lahir di Tanjung Pandan, Belitung, 30 Juli 1923 – meninggal di Boyolali,
Jawa Tengah, 22 November 1965 pada umur 42 tahun) adalah seorang pemimpin
senior Partai Komunis Indonesia (PKI). Lahir dengan nama Ahmad Aidit di Pulau
Belitung, ia akrab dipanggil “Amat” oleh orang-orang yang akrab dengannya.
Aidit mendapat pendidikan dalam sistem kolonial Belanda.
Angkatan
Darat melalui tangan Suharto pun mengambil jalan pintas. Potong kompas.
Caranya,
harus dibuat sebuah surat perintah yang telah terkonsep, yang membuat Angkatan
Darat jadi punya alasan yuridis melibas PKI.
Konsep
surat itu pun dibuat. Konsep Supersemar. Isinya perintah presiden kepada
Angkatan Darat (Suharto) untuk mengamankan negara.
Nah,
dengan dalih mengamankan negara inilah Angkatan Darat jadi punya alasan
mengganyang habis PKI. Angkatan Darat memang berlomba dengan waktu. Harus
bergerak cepat.
Kalau tidak, PKI bisa kembali bangkit mengumpulkan
kekuatan dan mendepak jauh-jauh Angkatan Darat dari panggung kekuasaan. Now or never! Jadi sekarang Angkatan Darat tidak boleh kalah
cepat!
Setelah
itu Suharto memerintahkan para Jendral tadi untuk membawa surat itu kepada
Sukarno.
Dengan
pesan khusus, “pokoknya harus ditandatangani Sukarno”. Begitu Supersemar
ditandatangani, itulah awal aksi pedang Orba.
Nampaknya
tanda tangan Sukarno tadi adalah pembuka jalan bagi pelaksana Supersemar untuk
mengamankan yang bisa diamankan. Sesudah itu terjadi tragedi mengenaskan.
Di
segala pelosok negeri berkubang darah jutaan rakyat dengan alasan pembasmian
PKI demi keamanan negara. Korbannya tidak saja PKI, tapi juga orang-orang yang
tiba-tiba di-PKI-kan atau dipaksa mengaku PKI. Berjuta rakyat mendadak tak
bermasa depan dan terampas haknya karena dicap PKI.
Tak kurang Sukarno sendiri turut menjadi korban.
Sukarno mengatakan dia mengutuk sekeras-kerasnya Gestok (G30S PKI). Pelakunya harus dihukum, kalau perlu
ditembak mati. Tapi orang yang memperuncing peristiwa G30S PKI, hingga terjadi
provokasi membenarkan pembunuhan jutaan rakyat juga harus diadili. Apakah
Sukarno bermaksud menujukan ini pada Suharto?
Yang
jelas, sesudah pernyataan Sukarno itu, terjadi de-Sukarnoisasi. Kita tahu
bagaimana Sukarno diisolasi, dituduh terlibat G-30 S PKI tanpa bukti yuridis.
Tentu
saja tuduhan itu aneh. Karena bagaimana mungkin Sukarno dituduh melakukan
kudeta terhadap dirinya sendiri? Buntutnya, semua yang berhubungan dengan
Sukarno menjadi tabu dibicarakan di masa Orba. Bahkan beberapa departemen
men-non-aktif-kan pegawai yang ketahuan pro-Sukarno.
Sukarno addressing a PKI rally.
2. Suharto dan Amerika
Setelah
skenario berjalan seperti harapan, “para perancang” Supersemar lalu mabuk
kemenangan. PKI yang dulu jadi saingan utamanya untuk merebut “kursi Sukarno”
sudah tersungkur. Dan Sukarno sang pemilik kursi juga sudah dipaksa
meninggalkan kursinya. Suharto tak menyia-nyiakan kesempatan. Kursi yang kosong
tanpa pemilik itu harus diapakan lagi kalau bukan diduduki?
Dan
ketika kursi Sukarno tadi diduduki Suharto, di situlah awal mula kasak kusuk
politik tentang “penyelewengan Supersemar”. Apakah betul tuduhan bahwa ada
permainan sistematis Amerika di balik semua ini?
Yang
jelas, dengan diselewengkannya maksud Supersemar, yang paling berbahagia adalah
Amerika. Karena itu berarti jatuhnya Sukarno. Akhirnya mimpi Amerika terkabul
sudah. Terang-terangan Amerika menyatakan jatuhnya Sukarno sebagai kemenangan
Amerika. Presiden Richard Nixon menggambarkan kemenangan itu sebagai, “Hadiah
terbesar dari Asia Tenggara”.
Sudah jelas. Karena
hadiah sesungguhnya terletak pada kekayaan alam Indonesia yang menanti untuk
dikuras. Dan batu penghalang yang menghalang-halangi Amerika menguras alam
Indonesia, yaitu Sukarno, sudah dibikin terjungkal. Inilah awal kemenangan
Amerika yang sejak 10 tahun sebelumnya ingin menggulingkan Sukarno.
Bung
Karno berhasil mengusir penjajahan Belanda. Tapi setelah itu Bung Karno ambruk
oleh Amerika. Mungkin karena cara Amerika lebih cerdik. Soalnya Amerika tidak
memegang gagang keris secara langsung untuk menikam Sukarno.
Keris itu diserahkannya kepada rakyat Sukarno sendiri,
yang menghujamkannya langsung ke presidennya sendiri, di antaranya melalui
provokasi perebutan kekuasaan dan akhirnya menunggangi G-30S. Terlihat jelas
disini bahwa sudah ada perang
asimetris pada masa itu.
Pasca
G30S, rakyat menjadi sangat takut dengan yang kekiri-kirian. Ini artinya
Indonesia meninggalkan Rusia dan berpaling ke Amerika.
Dan setelah Supersemar
dijadikan surat sakti untuk memberantas sisa-sisa G-30S, lalu pemegang
Supersemar diangkat menjadi presiden, Indonesia berubah haluan 180 derajat.
Hampir semua jabatan vital dipegang oleh perwira Angkatan darat. Sehingga
rakyat berbisik takut-takut dan bertanya siapa sebetulnya yang meng-kup
Sukarno?
Di
bawah pemerintahan yang hampir semuanya orang militer, rakyat Indonesia jadi
takut dan kapok dengan yang segala yang berbau kiri. Semua orang tiba-tiba saja
beragama. Banyak orang tiba-tiba rajin ke mesjid dan ke gereja. Soalnya takut
dituduh PKI. Sehingga kiblat Indonesia berganti ke Amerika, tidak lagi ke Blok
Timur.
Rusia
yang tadinya sahabat Indonesia sekarang menyingkir. Amerika jingkrak-jingkrak!
Soalnya mimpi mereka untuk menancapkan kuku di Indonesia akhirnya terwujud.
Indonesia yang di bawah tanahnya banyak emas dan minyak itu akhirnya jatuh ke
pelukan Amerika. Apa buktinya?
Kepentingan
Amerika cuma satu. Pokoknya modal Amerika mesti masuk ke Indonesia. Hasilnya?
Begitu pemegang Supersemar diangkat menjadi Presiden menggantikan Sukarno, maka
produk undang-undang pertama yang digodok adalah RUU Penanaman Modal Asing Tahun
1967.
Setelah
lahir UU Penanaman Modal Asing, sebut saja sumber daya alam mana di Indonesia
yang sampai sekarang tidak dikuasai Amerika? Sukarno telah ditumbangkan oleh
Amerika. Dan bagaimana pemangku Supersemar akhirnya lengser?
Ketika ayam jago yang
dielus-elus tuannya tidak lagi berguna, maka ayam itu “di-kuali-kan” menjadi
ayam sayur. Semua itu berawal ketika “kapitalisme Cendana” ternyata semakin
me-raksasa nyaris mendesak kepentingan kapitalisme Amerika. Maka pemangku
Supersemar pun akhirnya terdepak pula.
Di
mana letak perbedaan kejatuhan Sukarno dan Suharto? Sukarno memang dijatuhkan
sesudah menandatangani Supersemar, tapi tak pernah jatuh ke pelukan Amerika.
Sedangkan Suharto sudah jatuh sejak awal. Bahkan ketika dia baru saja mengirim
utusannya untuk memaksa Sukarno menandatangani Supersemar, di saat itu Suharto
telah jatuh ke pelukan Amerika.
Tidak ada kekuasaan yang abadi. Setiap saat kekuasaan
bisa saja jatuh. Tapi ada satu hal yang tidak otomatis jatuh bersama kekuasaan.
Yaitu kehormatan. (Walentina Waluyanti–
Nederland, 4 Maret 2010)
Suharto di Musium Lubang Buaya
3. Amerika sebut Supersemar sebagai
kudeta
Tuduhan bahwa Surat Perintah 11 Maret 1966
(Supersemar) adalah puncak dari kudeta merangkak yang dilakukan Soeharto,
semakin jelas dengan adanya dokumen Central Intelligence Agency (CIA). Telegram rahasia dari Kedubes AS di Jakarta
kepada Departemen Luar Negeri AS, sehari pasca-Supersemar, menyatakan: Indonesia baru saja melancarkan
sebuah kudeta militer (military coup).
Dalam “Membongkar Supersemar”, Sejarawan Baskara T.
Wardaya melampirkan telegram rahasia yang ia dapatkan itu. AS tidak hanya
menyebut Supersemar sebagai kudeta. Tapi melihat caranya yang merangkak, negara
adidaya itu menyebut Supersemar sebagai “kudeta militer yang khas negeri tersebut”.
Isi telegraph rahasia itu adalah:
“Setelah
lama ditunggu-tunggu kini Soekarno telah mempertaruhkan nasibnya terlalu jauh.
Rencana dia untuk menyingkirkan jajaran kepemimpinan militer dan memasukkan
seseorang yang dikenal sebagaipro-komunis sebagai Menteri Pertahanan telah mendorong militer
untuk memotong kekuasaannya.”
Menteri yang dimaksud AS sebagai pro-komunis adalah Mayjen Sarbini. Dia ditunjuk oleh Presiden
Soekarno menggantikan AH Nasution, yang dikenal dekat dengan AS. Saat
Supersemar terjadi Nasution tidak menjabat apa-apa lagi. Dia lebih banyak
menunggu di rumah sambil melihat dinamika politik yang terjadi.
Dukungan AS untuk penggulingan Soekarno semakin jelas
dengan adanya memorandum dari Deputi Asisten Khusus Bidang Keamanan Nasional
AS, Robert Komer, kepada Presiden Lyndon Jhonson. Dalam memo itu, Komer
menyebut Supersemar sebagai“kudeta
yang sukses”.
Memo yang dikirim sehari setelah
Supersemar:
“Mendukung sukses.
Tidak sulit untuk menyadari betapa pentingnya kemenangan AD atas Soekarno
(meskipun Soekarno tetap dihormati sebagai simbol negara). Indonesia memiliki
jumlah penduduk – dan jumlah sumber alam ‘melebihi yang ada di seluruh Asia
Tenggara’. Selama ini Indonesia telah siap menjadi negara komunis yang
ekspansionis, yang siap mengancam bagian belakang posisi Barat di Asia
Tenggara.”
Marsdya TNI (Purn.) dr. Soebandrio (lahir di Kepanjen, Jawa Timur, 15 September 1914 – meninggal di Jakarta, 3
Juli 2004 pada umur 89 tahun) adalah politikus Indonesia yang sangat
berpengaruh pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Lulusan Sekolah Tinggi
Kedokteran Jakarta (GHS) ini pernah menjadi Duta Besar Republik Indonesia di
London, Britania Raya, pada tahun 1950-1954 dan Moskwa, Uni Soviet, pada tahun
1954-1956.
Dalam
“Peristiwa G 30 S yang Saya Alami”, Soebandrio mengatakan, sangat jelas AS
takut Indonesia dikuasai komunis.
Wakil
Perdana Menteri I di kabinet Dwi Kora itu mengatakan ada dua proyek AS di
Indonesia. “Hancurkan PKI dan gulingkan Soekarno,” cetusnya.
Soebandrio
dan sejumlah menteri yang berhaluan kiri memang banyak duduk di kabinet saat
itu.
Apalagi hubungan AS dan Soekarno terus memburuk
pasca-pernyataan keras Soekarno tentang penghentian batuan negara adidaya ke
Indonesia. “to
hell with your aid,” cetus
Soekarno saat itu.
Setelah
Supersemar terbit, PKI mulai diberangus, Soebandrio dan 14 menteri kabinet Dwi
Kora yang loyal dengan Bung Karno dan berhaluan kiri, ditangkap dan ditahan.
Soebandrio
divonis hukuman mati oleh Mahkamah Militer Luar Biasa.
“Dari
posisi orang nomor dua di republik ini, mendadak diadili sebagai penjahat dan
dihukum mati,” ratap Soebandrio di penjara Cimahi.
Namun,
Soebandrio akhirnya lolos dari jerat maut berkat surat Presiden AS Lyndon
Jhonson dan Ratu Inggris Elizabeth kepada Soeharto.
“Soebandrio
jangan ditembak, saya tahu dia tidak terlibat dalam G 30S”, demikian surat yang
akhirnya membuat Soebandrio tetap hidup dan menulis kesaksiannya setelah
reformasi meletus.
Arsip Nasional Terus Mencari Supersemar
Asli
Kepala
ANRI M Asichin meyakini Supersemar asli itu benar-benar ada. Naskah asli Surat
Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) entah di mana kini berada. Arsip Nasional
Republik Indonesia (ANRI) mengaku hanya menyimpan versi palsu Supersemar.
Mungkinkah
naskah asli surat perintah dari Presiden Soekarno ke Soeharto itu ditemukan?
“Yang jelas kami terus berupaya,” kata Kepala ANRI, M Asichin, di Jakarta,
Sabtu (10/3/2012).
Asichin menjelaskan
ANRI telah melakukan pencarian naskah asli Supersemar sejak tahun 2000 atau
sejak reformasi membuka tabir kepalsuan surat, yang menjadi bahan ajaran
siswa-siswa pada masa Orde Baru.
“Terakhir
kami wawancarai Joko Pekik dan Rewang pada 2011,” kata Asichin tentang mantan
dua anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), partai yang dibubarkan Soeharto
setelah menerima Supersemar.
Namun,
kata Asichin, pada wawancara Juni dan Juli 2011 itu, Joko Pekik dan Rewang juga
tidak tahu perihal surat tersebut. “Mereka cuma mendengar saat itu soal
Supersemar, soal ada tidak ada, mereka tidak tahu,” ujar Asichin.
Dalam
rangka mencari Supersemar, ANRI juga pernah mewawancarai keluarga Jenderal
(Purn) M Jusuf, salah satu petinggi Angkatan Darat (AD) yang mengantarkan
Supersemar dari Soekarno kepada Soeharto. Asichin mengatakan, klaim M Jusuf
memiliki naskah asli Supersemar tidak terbukti.
Kepada
ANRI, Andi Heri, keponakan M Jusuf yang saat itu menjabat Wakil Wali Kota
Makassar mengatakan, “Keluarga kami tidak menyimpan.” Wawancara itu dilakukan
pada 31 Agustus 2005.
ANRI
juga pernah mendatangi anak Jenderal (Purn) AH Nasution, namun hasilnya juga
sama, nihil. “Dia juga tidak tahu,” kata Asichin. Secara pribadi, Asichin
meyakini Supersemar asli itu benar-benar ada. Soekarno sendiri pernah
mengatakannya pada pidato di HUT Kemerdekaan 17 Agustus 1966.
“Pak
Moerdiono juga pernah mengatakan beliau melihat dan beliau yakin ada,” kata
Asichin. Mungkinkah naskah asli Supersemar ditemukan? Setidaknya keyakinan
kepala ANRI bisa jadi modal untuk mencari Supersemar yang asli, yang telah
memberi dampak bagi kehidupan bangsa Indonesia sampai saat ini.
Sang Putra Fajar, presiden pertama Republik Indonesia
Penemu Supersemar Akan Diberi
Penghargaan
Meski
UU Kearsipan mengatur ancaman pidana bagi penyembunyi arsip negara, hukuman
untuk pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) nampaknya tidak
terlalu ketat. Bahkan, Arsip Negara Republik Indonesia (ANRI) menjanjikan
penghargaan bagi mereka yang mengembalikan surat sakti dari Soekarno ke
Soeharto itu.
“Ya
peraturan kan bukan untuk dilanggar,” ujar Kepala ANRI, M Asichin, di Jakarta,
Sabtu (10/3). Aschin menjelaskan di UU Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan
juga mengatur soal penghargaan bagi mereka yang memberikan arsip negara yang
bernilai sejarah tinggi, seperti Supersemar. “Kita akan gunakan cara-cara
persuasif,” ujarnya.
Seperti
diketahui, ancaman pidana soal kearsipan di era Soeharto sangat besar. Pasal 11
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan
menyatakan barangsiapa dengan sengaja memiliki arsip negara dengan melawan
hukum, maka akan dipenjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun.
Namun,
pada revisi terakhir UU itu, yakni UU Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan,
aturan pidana soal penyimpanan arsip negara sedikit berubah. Bagi yang memiliki
arsip negara secara melanggar hukum ia akan dibui maksimal lima tahun. Dan bagi
yang memusnahkan arsip tidak sesuai prosedur yang diatur akan mendapat hukuman
maksimal 10 tahun penjara.
Suharto dan Sukarno tahun 1966
Cari Supersemar, ANRI pernah temui Tutut
dan Megawati
Arsip
Nasional Republik Indonesia (ANRI) terus berupaya mencari keberadaan naskah
asli Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Dalam waktu dekat, lembaga itu
akan mewawancari Siti Hardiyanti (Tutut) Rukmana dan Megawati Soekarnoputri.
“Kita
akan memasukan permohonan wawancara,” kata Kepala ANRI, Asichin, di Jakarta,
Sabtu (10/3/2012). Asichin menjelaskan, adalah penting untuk mencari informasi
seputar Supersemar kepada keluarga Soekarno dan Soeharto, sebagai pemberi dan
penerima surat.
“Kita
akan tanya pernah lihat tidak (naskah asli Supersemar-red), apapun jawaban
beliau akan kita arsipkan,” kata Asichin.
Tidak
hanya kepada keluarga pemberi dan penerima surat, ANRI juga akan mewawancarai
tokoh-tokoh yang dekat dengan konteks peristiwa 1966 itu. Dia menyebut nama
Akbar Tandjung dan Cosmas Batubara, pentolan gerakan mahasiswa tahun 1966.
“Siapa tahu mereka tahu,” ujarnya.
Dalam rangka mencari Supersemar, ANRI juga pernah
mewawancarai keluarga Jenderal (Purn) M Jusuf, salah satu petinggi Angkatan
Darat (AD) yang mengantarkan Supersemar dari Soekarno kepada Soeharto. Asichin
mengatakan, klaim M Jusuf memiliki naskah asli Supersemar tidak terbukti. (Laurencius Simanjuntak/merdeka.com)
Suharto dan Soekarno duduk berdua
Keberadaan Supersemar asli masih
misterius
Keberadaan
naskah Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar yang asli sampai saat ini masih
misterius dan belum ditemukan, kata Binner Sitompul, Kepala Pusat Jasa
Kearsipan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
“Kami telah melakukan pengujian terhadap empat naskah
Supersemar yang ada saat ini, tapi keempat-empatnya belum ada yang asli,”
katanya usai acara sosialisasi Undang-undang No.43 Tahun
2009 tentang Kearsipan di Tuapejat, Senin (17 Maret 2014) .
Ia
menjelaskan, hasil uji forensik tanda tangan pada dokumen/arsip oleh Puslabfor
Bareskrim Mabes Polri pada 31 Juli 2012 terkait naskah Supersemar menyebutkan, tanda
tangan atas nama Soekarno adalah bukan tanda tangan original atau tarikan
langsung, tetapi hasil produk cetak.
Selain
itu, lambang Burung Garuda, isi dokumen, dan tanda tangan merupakan hasil
produk cetak yang sama, imbuhnya.
Binner
mengatakan, sesuai dengan amanat UU Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, ANRI
berwenang melakukan autentikasi arsip statis dengan dukungan pembuktian secara
ilmiah, namun pihaknya tetap mengharapkan peran dari berbagai pihak untuk
mencari naskah Supersemar yang asli tersebut.
“Ini
menyangkut kebenaran sejarah bangsa Indonesia, maka keaslian naskah Supersemar
itu memang sudah saatnya dicari oleh semua pihak,” Katanya.
Ia
mengatakan, pihak ANRI tidak bisa memastikan apakah naskah Supersemar asli
hilang atau sengaja dihilangkan, namun diyakini naskah asli Supersemar memang
ada.
Daftar Pustaka:
Komentar
Posting Komentar